Rabu, 07 Januari 2009

LIGA DEMOKRASI

Pembentukan

Pergolakan di Indonesia selama masa Demokrasi Parlementer mencapai puncaknya setelah peristiwa PRRI/Permesta, pembubaran Konstituante dan akhirnya pembentukan DPRGR oleh Presiden Soekarno. Dengan dukungan DPR-GR, yang dibentuknya sendiri, Soekarno membangun Demokrasi Terpimpin, yang menempatkan dirinya sebagai penguasa tertingi, melampaui lembaga tinggi negara yang lain, baik legislatif maupun yudikatif.

Salah satu penopang dari kebijakan Soekarno itu adalah PKI, yang semakin meluaskan pengaruhnya dengan dukungan sang Presiden di dalam pemerintahan. Hal itu menyebabkan kecemasan di kalangan partai-partai yang anti-komunis. Guna membendung laju perkembangan PKI, sejumlah partai yang anti-komunis sepakat untuk menggalang kekuatan bersama. Hasilnya adalah Liga Demokrasi, yang dimotori oleh tokoh-tokoh Masyumi, PSI, NU, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Khatolik, PSII, dan Parkindo. Organisasi ini dibentuk tanggal 24 Maret 1960

Misi

Liga Demokrasi dibentuk dengan dua misi. Pertama, sebagai kekuatan penekan terhadap kepemimpinan Soekarno dalam rangka memulihkan dan menegakkan demokrasi. Kedua, untuk membendung meluasnya pengaruh PKI. Dalam perjuangannya, Liga Demokras mengajukan berbagai tuntutan dan protes terhadap pemerintah. Di antara tuntutan mereka adalah pembubaran DPRGR yang dikecam karena melibatkan unsur-unsur PKI, dipertahankannya sistem Demokrasi Parlementer, dan memprotes pembubaran partai-partai politik.

Perjuangan Liga Demokrasi memperoleh sambutan hangat dari banyak pihak. Hasilnya, dalam waktu singkat organisasi ini berhasil meluaskan pengaruhnya dan membentukan sejumlah cabang di beberapa daerah. Hanya dalam tempo satu bulan setelah Liga Demokrasi dibentuk, sudah berdiri cabang-cabangnya di Jawa Timur, Bogor, dan Makassar.

Reaksi Pendukung Soekarno

Kemunculan dan tuntutan Liga Demokrasi menimbulkan reaksi keras dari phak-pihak yang mendukung kebijakan politik Soekarno atau yang mendapatkan keuntungan dari berbagai kebijakannya, termasuk PKI. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila organisasi tersebut menanggung risiko berhadapan langsung dengan Soekarno dan para pendukungnya.

Sebagai contoh, prosesi pembentukan cabangnya di Jawa Timur sempat diganggu oleh serbuan ratusan pemuda. Di Jawa Tengah, keluar larangan pembentukan Liga Demokrasi dari penguasa setempat. Sementara itu, di Cirebon terjadi penahanan terhadap sejumlah pengurus Liga Demokrasi. Organisasi ini pun mendapat kecaman di berbagai media massa yang pro-pemerintah.

Faktor Militer

Pada mulanya, militer memberikan dukungan terbatas terhadap Liga Demokrasi. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa militer berdiri di belakang IPKI, yang merupakan salah satu pendiri Liga Demokrasi. Bahkan militer seakan memberi jaminan terhadap aktivitasnya, sehingga untuk sementara waktu membiarkan Liga Demokrasi berkembang karena hendak memanfaatkannya untuk mencegah masuknya PKI dalam pemerintahan.

Sayangnya, terpisah dari permusuhan mereka terhadap PKI, tidak ada kesamaan lain yang dimiliki oleh militer dan Liga Demokrasi. Pada kenyataannya, militer menentang diberlakukannya kembali sistem Demokrasi Parlementer karena mereka menganggap partai politik sebagai penyebab ketidakstabilan politik. Karena itu, mereka memandang perlu adanya kebijakan yang secara dramatis akan membatasi peran dan ruang gerak partai politik, suatu hal yang bertentangan dengan tuntutan Liga Demokrasi.

Ketika kedudukan dan peranan politik Soekarno semakin menguat sementara PKI terlihat berada di bawah perlindungan sang Presiden, pada akhirnya militer memilih untuk memberikan dukungan terbatas terhadap Soekarno. Sikap militer ini tidak terlepas dari sikap oportunismenya dalam membaca arah dan perkembangan politik.

Pembubaran

Ketika Liga Demokrasi kehilangan dukungan dari militer, organisasi itu semakin mendapat hambatan dan penentangan dari musuh-musuh politiknya. Keadaan bertambah runyam ketika, dengan pertimbangan “adanya reaksi-reaksi dan insiden politik di berbagai tempat yang ditimbulkan oleh kegiatan politik Liga Demokrasi”, penguasa militer daerah kemudian menetapkan ketentuan larangan terhadap Liga Demokrasi di daerah-daerah. Sejumlah partai politik seperti NU, kemudian ikut juga terseret membtasi kegiatan Liga Demokrasi dengan anggotanya menjadi anggota atau pendukung organisasi itu.

Kekuatan Liga Demokrasi semakin merosot ketika PSII memutuskan menarik diri dari keanggotaannya dalam organisasi itu demi menjaga kelangsungan partainya. Pukulan terakhir diberikan oleh Presiden Soekarno, yang kemudian membubarkan Liga Demokrasi karena dianggap sebagai kaki tangan imperialis untuk menjajah kembali Indonesia dan menjebloskan para aktivisnya ke penjara. (© Redaksi Historia Ensiklopedia)


PARTAI MASYUMI: 1945-60

Pendirian

Partai Masyumi merupakan kelanjutan dari organisasi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang didirikan Jepang pada tanggal 22 November 1943. Dalam organisasi ini, Muhammadiyah dan NU memainkan peranan penting. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pada bulan November 1945, diadakan kesepakatan bahwa umat Islam bersatu ke dalam satu barisan pejuangan, yaitu Masyumi.

Akan tetapi, sekalipun Masyumi berhasil menampilkan sosoknya sebagai partai politik yang besar dan berpengaruh, partai ini tetap saja tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari bibit-bibit perpecahan yang telah melekat sejak awal pembentukannya. Hal itu merupakan konsekuensi dari sifat organisasi Masyumi sebagai aliansi dari beberapa kelompok Islam, di mana masing-masing membawa semangat, aspirasi, orientasi dan kepentingannya kelompoknya. Dengan kata lain, masing-masing kelompok menggunakan Masyumi sebagai kendaraan politik untuk mengejar dan mengembangkan orientasi kekuasaannya. Akibatnya, timbul persaingan terbuka sekaligus laten di dalam Masyumi.

Perpecahan

Pada Juli 1947, kurang dari setahun setelah menggabungkan diri ke dalam Masyumi, PSII menarik keanggotaannya dan menyatakan diri sebagai partai politik independen. Sekalipun PSII merupakan kekuatan politik kecil pada saat itu, namun keputusannya keluar dari Masyumi menunjukkan gejala mulai merapuhnya ikatan politik di tubuh Masyumi.

Pada tahun 1952, Masyumi mengalami perpecahan terparah ketika NU memutuskan menarik diri dari Masyumi dan membentuk partai politik yang berdiri sendiri. Selain dikarenakan konflik antara konservatisme dan modernisme dalam Islam, perpecahan itu terutama dikarenakan struktur kepemimpinan yang terbentuk dalam Masyumi dianggap tidak merepresentasikan kekuatan riil dari NU. Unsur NU sejak awal hanya dibiarkan mendominasi Dewan Partai Masyumi yang jauh dari politik praktis sementara Dewan Eksekutif didominasi oleh unsur-unsur modernis, khususnya yang berasal dari kalangan Muhammadiyah. Peristiwa itu sendiri menjadi pukulan hebat bagi Masyumi karena NU memiliki pengikut yang sangat besar di beberapa wilayah, terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan yang padat penduduknya. Dampak dari perpecahan Masyumi sendiri baru terlihat ketika pada Pemilu 1955, mereka hanya meraih 57 kursi dari total 257 kursi di parlemen.

Masyumi di Pemerintahan

Setelah RIS bubar dan sistem parlementer diterapkan, dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki jumlah anggota 232 orang, yang mencerminkan apa yang dianggap sebagai kekuatan partai yang ada waktu itu. Pada saat itu, Masyumi merupakan kelompok terbesar di Dewan Perwakilan Rakyat, di mana mereka memiliki 49 kursi (21%).

Dominasi Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menghantarkan mereka untuk dipilih membentuk kabinet pertama RI pada masa parlementer. Di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir, kabinet yang didominasi oleh Masyumi itu berlangsung antara September 1950 hingga Maret 1951.

Berakhirnya Kabinet Natsir tidak berarti berakhirnya dominasi Masyumi dalam pemerintahan RI karena kabinet berikutnya masih dipimpin oleh seorang tokoh partai tersebut, yaitu Dr. Sukiman Wirjosandjojo, sekalipun kabinetnya pada dasarnya merupakan koalisi antara Masyumi dan PNI. Namun pemerintahannya tidak berlangsung lama, dan setelah itu dua kabinet berikutnya dipimpin oleh tokoh-tokoh PNI.


Pada bulan Agustus 1955, seorang tokoh Masyumi sekali lagi ditunjuk menjadi perdana menteri, yaitu Burhanuddin Harahap. Pada masa pemerintahannyalah pemilihan umum pertama di Indonesia diselenggarakan. Namun pemerintahannya berakhir ketika NU menarik dukungannya sehingga pada awal Maret 1956 Burhanuddin mengundurkan diri dari jabatannya.

Pembubaran

Setelah pemilu 1955, Masyumi semakin sering berbeda pendapat dengan partai-partai lain di kabinet maupun parlemen dalam beberapa isu politik, terutama peranan PKI. Hal itu menimbulkan perselisihan dengan Presiden Soekarno, yang menginginkan dilibatkannya PKI dalam kehidupan pemerintahan. Tajamnya perselisihan dalam isu PKI akhirnya mendorong sejumlah petinggi Masyumi, seperti M. Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, mendukung pemberontakan PRRI/Permesta yang anti-komunis.

Keterlibatan sejumlah tokoh Masyumi dalam pemberontakan PRRI/Permesta dan penolakan Masyumi untuk memecat mereka dari keanggotaan partai tersebut akhirnya memberikan alasan bagi Soekarno untuk membubarkan Masyumi melalui Keputusan Presiden No.200 tahun 1960 pada 17 Agustus 1960. (© Redaksi Historia Ensiklopedia)